Infrastruktur Nasional
Dibandingkan dengan negara-negara yang berada dalam posisi hampir sama di awal tahun 1970-an, Indonesia menunjukkan posisi yang tertinggal perkembangannya. Jika dibandingkan dengan China dan India, pembangunan infrastruktur di Indonesia masih jauh tertinggal. Investasi infrastruktur di India relatif besar, lebih dari 7% terhadap PDB sejak 2009, sedangkan China telah mencapai 9-11% terhadap PDB sejak tahun 2005 (Morgan Stanley, 2011). Proporsi pembangunan infrastruktur di Indonesia terhadap total belanja modal (capital expenditure) juga relatif rendah (12%), bila dibandingkan dengan China (23%). Relatif rendahnya proporsi investasi infrastruktur ini pada gilirannya berpengaruh terhadap daya saing Indonesia di kancah regional ASEAN, Asia, maupun Internasional.
Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi, di antaranya adalah lambatnya pembangunan infrastruktur dan peningkatan SDM atau sekarang disebut Human Capital (HC). Termasuk dalam kegagalan pembangunan SDM adalah rendahnya jumlah tenaga terdidik dan terlatih sebagai insinyur. Jumlah tenaga berpendidikan tinggi dari D1 sd S3 di Indonesia hanya 7% dari kondisi minimal 20% yang diperlukan. Insinyur sebagai tenaga terdidik yang sangat esensial saat ini diperkirakan hanya sekitar 700.000 orang atau 0,3% jumlah penduduk. Angka ini jauh dari kondisi ideal seharusnya. Angka ini jauh tertinggal dibanding negara-negara lain seperti Jepang, Korea Selatan, China, Malaysia, Singapura, Vietnam, Thailand dan India.
Selain jumlahnya yang kurang, pertambahan insinyur setiap tahun juga relatif sangat rendah. Total mahasiswa perguruan tinggi teknik di Indonesia saat ini sekitar 5,2 juta dengan rata-rata lulusan sebanyak 70.000 orang sarjana teknik pertahun termasuk sarjana informatika dan pertanian. Lulusan sarjana teknik di luar informatika dan pertanian tercatat hanya sekitar 42.000 setiap tahun.
Belum memuaskannya perkembangan insinyur di Indonesia juga dipicu dari buruk atau tidak memadainya insentif dan penghargaan kepada insinyur Indonesia selama ini. Selain menurunnya minat generasi muda menjadi insinyur, sebagian insinyur beralih profesi ke keahlian lain atau bermigrasi ke luar negeri.
Konsistensi dan kontinyuitas pembangunan infrastruktur nasional perlu direncanakan sejak awal dengan matang dan berjangka panjang karena dua alasan. Pertama, umur infrastruktur berkisar dari 20 tahun sampai dengan 50 bahkan 100 tahun sehingga tidak bisa berubah-ubah setiap saat atau setiap ganti perioda kekuasaan. Kedua, perusahaan yang bergerak di bidang penyediaan dan pembangunan infrastruktur perlu kepastian kelangsungan dalam jangka panjang sehingga mereka bisa merencanakan kapasitas perusahaannya sesuai dengan kebutuhan. Dengan cara ini tidak hanya kapasitas yang diperlukan pembangunan akan tersedia, namun juga ada peningkatan kompetensi yang sistematis. Perusahaan-perusahaan konstruksi akan berani melakukan investasi baik di peralatan maupun di SDM.
Komentar
Posting Komentar